22 Tahun silam aku dilahirkan, di sebuah kota kecil di sebelah timur kota semarang, yaitu kota Demak. Kota ini tidaklah tenar belakangan ini. Tapi beberapa abad yang lalu tidak ada seorang pun yang tidak tahu tentang kota Demak. Kota demak adalah tempat lahirnya kerajaan Demak yang sangat melegenda. Kerajaan Demak adalah kerajaan yang berperan besar dalam penyebaran agama islam di indonesia.
Semua orang tentu tau bagaimana besarnya kerajaan majapahit. Tapi kerajaan yang menghapuskan majapahit beserta ajaran agama hindunya adalah kerajaan Demak. Kerajaan yang berhasil menguasai seluruh indonesia untuk menyebarkan agama islam adalah kerajaan Demak. Karena pengaruhnya yang sangat besar maka kisah tentang kerajaan Demak selalu muncul dalam pelajaran sejarah.
Aku tak ingin lagi bercerita tentang sejarah kota Demak karena aku punya sejarah sendiri yang harus dituliskan. Ini adalah kisahku dengan kota Demak, sebuah kota yang telah melahirkanku. Mungkin aku tak pernah menemukan sebuah pantai yang indah di sana. Aku juga tidak pernah menemukan sebuah gunung disana. Tapi kenangan tentang kota ini terasa sangat indah untuk diingat.
Di kota ini aku tumbuh besar. Disana aku belajar bagaimana cara untuk berdiri, berlajan hingga berlari. Di kota ini aku menemukan banyak teman yang sangat berarti dan beberapa sahabat sejati. Sahabat yang telah mengantarkanku ke puncak puncak tertinggi. Sahabat yang mengantarkanku ke sebuah puncak yang sebelumnya hanya mimpi.
Di sana aku juga menemukan banyak orang hebat. Orang yang mengenalkanku pada gunung dan orang yang mengajariku bagaimana cara mendaki gunung. Aku kerap mendengarkan kisah kisah mereka, meresapinya dan mempelajarinya. Kini aku masih berjalan, berharap bisa melampaui mereka.
Aku masih ingat ketika pertama kali mengikuti extrakurikuler pecinta alam di SMA. Dari sanalah semua dimulai, dari sanalah kisahku dimulai. Pun aku masih ingat tentang sebuah studio musik yang selalu menjadi tempat nongkrong di akhir pekan. Juga alun alun kota yang selalu kudatangi setiap sore untuk bermain bola. Ahrg, entah kapan aku bisa kembali berada di sana. Kini takdir membawaku ke kota Bogor, untuk berbakti kepada indonesia dari segi pemetaan. Kini aku harus mengabdikan seluruh waktu yang kumiliki untuk BAKOSURTANAL. Tempatku bukan lagi di kota Demak, tapi disini, di kota hujan.
Kini aku tinggal sendiri di sebuah kontrakan di daerah cibinong. Tidak besar, hanya sekitar 3 x 8 meter. Tapi rasanya sangat besar hingga jarak dari dinding ke dinding terasa begitu jauh. Tempat ini terasa begitu sepi, sunyi. Aku hanya bisa terlentang di atas tempat tidur sambil menatap ke arah langit langit rumah. Sementara itu hujan masih terus mengguyur kota ini. Mungkin langit mengerti bahwa hatiku memang sedang mendung.
Malam ini jarum jam terasa lebih lambat dari biasanya. Jiwaku seakan masih tertinggal di kota Demak. Mungkin aku hanya belum bisa percaya bahwa keadaan ini nyata. Mungkin aku membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyadari bahwa semua telah terjadi. Tapi bagaimana pun laki laki ini memang harus meninggalkan rumah. Ada suatu waktu dimana sang singa jantan muda harus pergi ke tengah rimba. Dia harus bertarung dengan kerasnya kehidupan. Dia harus bergelut dengan gelapnya keadaan. Dia harus menguasai rimba yang baru. Dia harus merajai setiap jengkal tanahnya.
Tak ada kemungkinan bagiku untuk kembali ke kota Demak. Kota bogor telah menjadi sebuah tujuan untuk pulang ketika aku meninggalkanya. Hidup begitu cepat berlalu, kisah demi kisah begitu cepat terjadi. Tapi satu hal yang pasti “perjalanan ini masih panjang”. Segera kita mulai lagi perjalanan ini dari kota Bogor. Segera kita wujudkan mimpi mimpi itu dari kota ini.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mati sebagai PNS, karena aku akan menjadi jauh lebih besar dari itu. Kota bogor akan menjadi sebuah pot yang akan membesarkan sebuah tumbuhan. Tumbuhan itu akan sangat besar, lebat, banyak buah dan bermanfaat.
Selamat tinggal kota Demak, tanah yang telah melahirkanku. Terimakasih untuk segalanya.
Sayonara kota wali
1 komentar:
Selamat naik level om.
Posting Komentar