Perbatasan Indonesia- Timor Leste
Minggu, 18 mei 2014, saya mendarat di Kupang-Nusa Tenggara Timur. Bandara di Kupang sangat kecil, lebih besar terminal terminal di jakarta seperti terminal Kp. Rambutan atau terminal Pulau Gadung. Dari Kupang saya harus naik mobil ke daerah kota Atambua selama 6 jam. Jalan yang dilewati naik turun dan berkelak kelok. Ada beberapa bagian jalan yang longsor dan belum sempat diperbaiki. Jalan yang saya lewati membentang di tengah hutan dan perbukitan. Di beberapa bagian jalan sempat turun kabut yang menjadikan perjalanan ini semakin menyenangkan.
Minggu, 18 mei 2014, saya mendarat di Kupang-Nusa Tenggara Timur. Bandara di Kupang sangat kecil, lebih besar terminal terminal di jakarta seperti terminal Kp. Rambutan atau terminal Pulau Gadung. Dari Kupang saya harus naik mobil ke daerah kota Atambua selama 6 jam. Jalan yang dilewati naik turun dan berkelak kelok. Ada beberapa bagian jalan yang longsor dan belum sempat diperbaiki. Jalan yang saya lewati membentang di tengah hutan dan perbukitan. Di beberapa bagian jalan sempat turun kabut yang menjadikan perjalanan ini semakin menyenangkan.
Atambua adalah daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Saya yang tergabung dalam tim Badan Informasi Geospasial berada disini dalam rangka pemasangan pilar batas negara Indonesia dan Timur Leste. Kami menginap sementara di Kota Atambua sambil menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan. Kami mengunjungi kantor pemerintahan setempat seperti Bappeda, Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan Satgas Pamtas untuk melakukan koordinasi.
Mayoritas penduduk atambua beragama Kristen, kebanyakan dari mereka berkulit hitam. Meskipun begitu masih ada beberapa gelintir warga muslim atau cina yang hidup di kota ini. Kota ini tidak semegah kota kota yang ada di pulau jawa. Terlalu jauh jika kita membandingkanya dengan kota seperti Bandung, Semarang atau Malang. Bangunan kantor pemerintahanya pun tidak semewah gedung gedung yang ada di pulau jawa, apalagi infrastruktur jalanya.
Siang itu kami pergi ke markas komando satgas pamtas untuk melakukan koordinasi, tapi komandan sedang sibuk melakukan pengawalan karena presiden Timor leste sedang melewati wilayah indonesia. Begitulah prosedur standar jika ada pejabat dari negara lain yang berkunjung di Indonesia. Anehnya para pejabat di timur leste dulunya adalah orang orang yang dimusuhi TNI karena dipandang sebagai aktifis upaya pemberontakan, tapi setelah timur Leste merdeka mereka menjadi pejabat dinegaranya. Dan ketika pejabat tersebut melintas di Indonesia mereka mendapatkan pengawalan dari TNI.
Disini BBM cukup sulit dicari walaupun jumlah kendaraan tidak sebanyak di pulau jawa. Usut demi usut ternyata BBM tersebut banyak diselundupkan ke negara sebelah. Penduduk Indonesia lokal sengaja membeli BBM di Pom Bensin kemudian menyelundupkanya ke negara sebelah dengan menggunakan kapal kecil. Mereka menjual BBM ke negara sebelah dengan harga yang lebih tinggi. BBM di negara sebelah tidak disubsidi sehingga harganya sangat mahal dan warga lokal memilih membeli BBM dari Indonesia.
Satgas pamtas sering melakukan razia dan menangkap banyak barang bukti, barang bukti tersebut diserahkan ke polisi setempat dan ............
Aneh memang, di sisi lain wilayah Indonesia warga merengek karena kehabisan BBM tapi di sisi yang lain warga malah menjual BBM ke negara sebelah. Ada ada saja cara yang digunakan untuk mencari uang.
"Orang Indonesia itu lebih pintar mikir perut masing masing daripada mikir negara"
Jumat, 23 Mei 2014, Pukul 3 WITA, kami segera meluncur menuju Pos Satgas Pamtas Lakmaras. Satgas Pamtas adalah TNI yang bertugas menjaga daerah perbatasan dengan negara lain. Desa Lakmaras adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Belu. Desa tersebut berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Kami menggunakan Mobil Ford untuk menuju desa Lakmaras. Mobil tersebut diisi oleh 6 orang, 1 orang dari BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan), 1 orang TNI dari Markas Komando Atambua, 1 orang TNI dari Kementrian Pertahanan dan 2 orang dari Badan Informasi Geospasial serta Pak Sopir. Pekerjaan ini sebenarnya adalah wewenang dari Badan Informasi Geospasial. Kita melibatkan TNI karena medan yang dilewati sangatlah berat juga karena alasan keamanan.
Perjalanan menuju Desa Lakmaras awalnya cukup menyenangkan. Jalan aspal yang kami lalui masih bagus walaupun tidak begitu lebar. Lama kelamaan kami mulai sampai di daerah pedalaman. Kini tidak ada lagi jalan halus. Kami melewati jalan tanah yang sangat berdebu. Beberapa bagian jalan longsor sehingga dibutuhkan sopir yang benar benar ahli. Mobil kami menyusuri daerah perbukitan, jurang dan tebing berkeliaran di sekitar. Tidak ada lagi signal Handphone, kami benar benar sudah menghilang dari jangkauan teknologi. Beberapa bagian jalan sangat menanjak, mobil kami hampir tidak kuat melaluinya.
Mobil kami berjalan di atas perbukitan. Sesekali kami melewati rumah warga pedalaman. Dari atas bukit tampak sungai sungai besar yang menjadi batas antara Indonesia dan Timor Leste. Sepanjang jalan pemandangan yang tersaji sangatlah indah. Rumput hijau di perbukitan perpadu dengan cahaya jingga mentari yang mulai tenggelam. Liarnya jalan membuatku mual. Alih alih mengambil gambar, duduk pun susah. Ah, indah pokoknya .....
Jam 06.00 WITA kami masih dalam perjalanan menuju desa lakmaras. Kabut tebal menghadang jalan kami. Jarak pandang mungkin sekitar 2 meter. Sementara itu mobil kami masih berkelana diantara tebing dan jurang. Kami sering berhenti di tengah jalan. Kami sempat turun untuk memastikan bahwa jalan yang kami lewati tidak berujung di jurang. 1 jam berselang akhirnya kami sampai di Pos Lakmaras.
Pos Lakmaras terletak di daerah perbukitan. Suhu di pos ini sangat dingin. Angin tidak pernah berhenti bertiup. Kabut juga sering datang mengganggu. Di pos ini terdapat sekitar 10 orang TNI yang berasal dari berbagai daerah. Ada orang jawa, orang bali, orang lombok, orang ambon, orang NTT dll. Mereka rela ditugaskan di pedalaman demi NKRI.
Kami menikmati makan malam yang telah disediakan. Tidak ada makanan mewah disini, hanya ada nasi putih, tempe goreng dan mie rebus. Makan malam tersebut ditutup dengan segelas teh hangat. Disini tidak ada listrik. Mereka membuat listrik dengan genset. Mereka selalu berkumpul untuk melihat TV setiap malam karena genset hanya dinyalakan pada malam hari. TV tersebut pun hanya bisa berfungsi dengan menggunakan parabola.
Pos ini adalah bangunan permanen dengan luas sekitar 20 x 8 meter. Tidak ada satupun sekat di dalam pos tersebut. Kami tidur di barak TNI, bergabung dengan personil lain. Aku mengeluarkan lotion anti nyamuk dari tas. Daerah ini adalah daerah rawan penyakit Malaria. Daya tahan tubuh harus selalu terjaga agar tidak terserang malaria. Dan yang paling penting hindari virus malaria yang ditularkan lewat gigitan nyamuk. Aku masuk sleeping bag dan menutupnya rapat rapat. Berharap tidak digigit nyamuk.
Pagi ini cuaca sangat tidak bersahabat. Matahari tidak tampak dari sudut manapun. Kabut tebal mengitari pos, angin tebal menerjang pos, benar benar pagi yang buruk. Aku pergi ke dapur, duduk di tungku api, mencoba menghangatkan badan. Disini terdapat seorang bapak yang menggendong anak kecil. Bapak tersebut membawa anaknya kesini karena kakinya terguyur air panas. Dia tidak tau harus pergi kemana lagi, di daerah pedalaman seperti ini tidak ada dokter atau puskesmas. Untungnya ada TNI dokter disini, dia mencoba menolong anak itu sebisanya. Persediaan obat disini tidak lengkap, obat yang ada disini pun sebenarnya untuk persediaan TNI, tapi mereka merelakanya demi rakyat.
Mayoritas penduduk atambua beragama Kristen, kebanyakan dari mereka berkulit hitam. Meskipun begitu masih ada beberapa gelintir warga muslim atau cina yang hidup di kota ini. Kota ini tidak semegah kota kota yang ada di pulau jawa. Terlalu jauh jika kita membandingkanya dengan kota seperti Bandung, Semarang atau Malang. Bangunan kantor pemerintahanya pun tidak semewah gedung gedung yang ada di pulau jawa, apalagi infrastruktur jalanya.
Siang itu kami pergi ke markas komando satgas pamtas untuk melakukan koordinasi, tapi komandan sedang sibuk melakukan pengawalan karena presiden Timor leste sedang melewati wilayah indonesia. Begitulah prosedur standar jika ada pejabat dari negara lain yang berkunjung di Indonesia. Anehnya para pejabat di timur leste dulunya adalah orang orang yang dimusuhi TNI karena dipandang sebagai aktifis upaya pemberontakan, tapi setelah timur Leste merdeka mereka menjadi pejabat dinegaranya. Dan ketika pejabat tersebut melintas di Indonesia mereka mendapatkan pengawalan dari TNI.
Disini BBM cukup sulit dicari walaupun jumlah kendaraan tidak sebanyak di pulau jawa. Usut demi usut ternyata BBM tersebut banyak diselundupkan ke negara sebelah. Penduduk Indonesia lokal sengaja membeli BBM di Pom Bensin kemudian menyelundupkanya ke negara sebelah dengan menggunakan kapal kecil. Mereka menjual BBM ke negara sebelah dengan harga yang lebih tinggi. BBM di negara sebelah tidak disubsidi sehingga harganya sangat mahal dan warga lokal memilih membeli BBM dari Indonesia.
Satgas pamtas sering melakukan razia dan menangkap banyak barang bukti, barang bukti tersebut diserahkan ke polisi setempat dan ............
Aneh memang, di sisi lain wilayah Indonesia warga merengek karena kehabisan BBM tapi di sisi yang lain warga malah menjual BBM ke negara sebelah. Ada ada saja cara yang digunakan untuk mencari uang.
"Orang Indonesia itu lebih pintar mikir perut masing masing daripada mikir negara"
Jumat, 23 Mei 2014, Pukul 3 WITA, kami segera meluncur menuju Pos Satgas Pamtas Lakmaras. Satgas Pamtas adalah TNI yang bertugas menjaga daerah perbatasan dengan negara lain. Desa Lakmaras adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Belu. Desa tersebut berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Kami menggunakan Mobil Ford untuk menuju desa Lakmaras. Mobil tersebut diisi oleh 6 orang, 1 orang dari BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan), 1 orang TNI dari Markas Komando Atambua, 1 orang TNI dari Kementrian Pertahanan dan 2 orang dari Badan Informasi Geospasial serta Pak Sopir. Pekerjaan ini sebenarnya adalah wewenang dari Badan Informasi Geospasial. Kita melibatkan TNI karena medan yang dilewati sangatlah berat juga karena alasan keamanan.
Perjalanan menuju Desa Lakmaras awalnya cukup menyenangkan. Jalan aspal yang kami lalui masih bagus walaupun tidak begitu lebar. Lama kelamaan kami mulai sampai di daerah pedalaman. Kini tidak ada lagi jalan halus. Kami melewati jalan tanah yang sangat berdebu. Beberapa bagian jalan longsor sehingga dibutuhkan sopir yang benar benar ahli. Mobil kami menyusuri daerah perbukitan, jurang dan tebing berkeliaran di sekitar. Tidak ada lagi signal Handphone, kami benar benar sudah menghilang dari jangkauan teknologi. Beberapa bagian jalan sangat menanjak, mobil kami hampir tidak kuat melaluinya.
Mobil kami berjalan di atas perbukitan. Sesekali kami melewati rumah warga pedalaman. Dari atas bukit tampak sungai sungai besar yang menjadi batas antara Indonesia dan Timor Leste. Sepanjang jalan pemandangan yang tersaji sangatlah indah. Rumput hijau di perbukitan perpadu dengan cahaya jingga mentari yang mulai tenggelam. Liarnya jalan membuatku mual. Alih alih mengambil gambar, duduk pun susah. Ah, indah pokoknya .....
Jam 06.00 WITA kami masih dalam perjalanan menuju desa lakmaras. Kabut tebal menghadang jalan kami. Jarak pandang mungkin sekitar 2 meter. Sementara itu mobil kami masih berkelana diantara tebing dan jurang. Kami sering berhenti di tengah jalan. Kami sempat turun untuk memastikan bahwa jalan yang kami lewati tidak berujung di jurang. 1 jam berselang akhirnya kami sampai di Pos Lakmaras.
Pos Lakmaras terletak di daerah perbukitan. Suhu di pos ini sangat dingin. Angin tidak pernah berhenti bertiup. Kabut juga sering datang mengganggu. Di pos ini terdapat sekitar 10 orang TNI yang berasal dari berbagai daerah. Ada orang jawa, orang bali, orang lombok, orang ambon, orang NTT dll. Mereka rela ditugaskan di pedalaman demi NKRI.
Kami menikmati makan malam yang telah disediakan. Tidak ada makanan mewah disini, hanya ada nasi putih, tempe goreng dan mie rebus. Makan malam tersebut ditutup dengan segelas teh hangat. Disini tidak ada listrik. Mereka membuat listrik dengan genset. Mereka selalu berkumpul untuk melihat TV setiap malam karena genset hanya dinyalakan pada malam hari. TV tersebut pun hanya bisa berfungsi dengan menggunakan parabola.
Pos ini adalah bangunan permanen dengan luas sekitar 20 x 8 meter. Tidak ada satupun sekat di dalam pos tersebut. Kami tidur di barak TNI, bergabung dengan personil lain. Aku mengeluarkan lotion anti nyamuk dari tas. Daerah ini adalah daerah rawan penyakit Malaria. Daya tahan tubuh harus selalu terjaga agar tidak terserang malaria. Dan yang paling penting hindari virus malaria yang ditularkan lewat gigitan nyamuk. Aku masuk sleeping bag dan menutupnya rapat rapat. Berharap tidak digigit nyamuk.
Pagi ini cuaca sangat tidak bersahabat. Matahari tidak tampak dari sudut manapun. Kabut tebal mengitari pos, angin tebal menerjang pos, benar benar pagi yang buruk. Aku pergi ke dapur, duduk di tungku api, mencoba menghangatkan badan. Disini terdapat seorang bapak yang menggendong anak kecil. Bapak tersebut membawa anaknya kesini karena kakinya terguyur air panas. Dia tidak tau harus pergi kemana lagi, di daerah pedalaman seperti ini tidak ada dokter atau puskesmas. Untungnya ada TNI dokter disini, dia mencoba menolong anak itu sebisanya. Persediaan obat disini tidak lengkap, obat yang ada disini pun sebenarnya untuk persediaan TNI, tapi mereka merelakanya demi rakyat.
Keadaan ini begitu miris. Wajah anak itu pucat, menahan sakit di kakinya. Sang bapak memangkunya, memeluknya, menghindarkanya dari dinginya cuaca. Aku duduk si sampingnya, mencoba membuka obrolan ringan. Bapak itu tidak bisa pulang karena gerimis masih mengguyur. Aku masuk ke dalam pos, mengambil roti biskuit. Aku memberikanya pada anak itu. Tanpa ragu dia langsung menyahutnya. Dia langsung meminta bapaknya untuk membuka bungkusnya. Dia ambil beberapa roti sekaligus, memakanya dengan lahap. Bagi mereka yang tinggal di kota mungkin roti seperti ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi anak ini roti ini adalah sebuah makanan mewah.
Sungguh sulit hidup disini. Tidak ada listrik, tidak ada dokter, tidak ada puskesmas, tidak ada obat. Jarak sekolah sangat jauh. Signal handpohone tidak ada. Tidak terjamah teknologi. Benar benar miris ,,,,,, Kita harus lebih banyak bersyukur, terhadap apa yang telah kita miliki, terhadap keadaan yang kini kita hadapi.
Kita tidak akan tahu tentang bagaimana dunia jika hanya berdiam diri di suatu tempat, keluarlah dari rumahmu, jelajahi dunia, temukan apa yang orang lain tak pernah temukan !
Ada banyak kisah, di daerah perbatasan, diantara Indonesia dan Timor leste
Bersambung ......
Ada banyak kisah, di daerah perbatasan, diantara Indonesia dan Timor leste
Bersambung ......
Salam Lestari
9 komentar:
tak tunggu cerita selanjutnya,,,bagus sekali, sangat menginspirasi,,,
@Riza Usman : Makasih udah mampir bos
mantap bro.. ditunggu cerita selanjutnya
supeeeer an.. miris sekalii.. mrinding aq bacanya...
Hampir mirip waktu kerja disalah satu perusahaan diperbatasan kalbar-kalteng. Asap knalpotpun dicium seperti parfum. Sungguh miris negara ini, pembangunan timpang antara pusat dan daerah.......
setuju...hidup terkadang seperti tidak adil jika melihat kehidupan daerah timur,daerah indah berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakatnya atau kita disini yg terlalu serakah?:-)
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
Promo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
Posting Komentar