Desa Tulamben, Menyusuri sisa Letusan Gunung Agung
Tulamben |
18 Februari 1963
Sebelum gunung Agung Meletus, para penduduk di sekitar gunung tersebut merasakan gempa bumi ringan. Gempa bumi itu kemudian menjalar ke tempat yang lebih jauh, hingga pada pukul 23.00 WIT, terdengar suara gemuruh dari dalam tanah, pertanda gunung itu mulai meletus. Tiga jam setelah itu, gumpalan asap terlihat dan bau gas belerang memenuhi udara. Awan bergumpal-gumpal keluar dari puncak gunung, dan setelah itu terdengar dentuman yang amat nyaring.
Suara dentuman itu disusul semburan batu-batu yang beterbangan dari puncak gunung, diiringi udara panas berbau belerang. Hujan lumpur turun dengan lebat, merobohkan banyak bangunan, kemudian awan panas berhembus dan mulai memakan korban. Seiring dengan itu, hujan abu terus turun setiap hari, sementara sungai mengalirkan lahar dan lava yang terus meleleh. Dalam laporan yang dibuat Kepala Bagian Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi Hadikusumo ke UNESCO, letusan itu telah menewaskan 1.549 orang. Sekitar 1.700 rumah hancur, sekitar 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian, dan sekitar 100.000 jiwa harus dievakuasi dari zona bahaya.
2011
Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali
Hari itu angin membawaku ke sisi timur pulau bali, Atau tepatnya Timur Laut Gunung Agung. Sebuah tempat yang menjadi saksi ganasnya letusan gunung agung beberapa tahun silam. Tampak sungai yang telah kering bekas aliran lava gunung agung. Sungai itu bermuara ke laut timur pulau bali. Di dasar sungai tersebut terdapat bongkahan batuan besar. Batuan itu adalah sisa aliran lava gunung agung yang telah mengering.
Terik mentari begitu menyengat siang itu. Debu dan pasir diterbangkan oleh angin yang terasa begitu sejuk. Sementara itu beberapa truck tampak masih berjalan mengangkut pasir. Roda roda berjalan di atas jalanan pasir yang begitu tandus. Truck itu mengangkut pasir sisa letusan gunung agung. Pasir pasir ini akan digunakan sebagai bahan bangunan. Truck tersebut bergerak menuju jalanan aspal yang membentang di pinggir pantai. Jalan yang akan mengantarkanya ke arah Denpasar.
Tulamben |
Jalan aspal di daerah ini masih bagus. Jalan ini jarang dilewati oleh kendaraan besar seperti di pulau jawa. Intensitas kendaraan yang lewat pun tidak sebanyak kendaraan di pulau jawa. Jalan ini membawaku ke tempat yang lebih tinggi, membawaku semakin dekat dengan gunung agung.
Beberapa menit setelah itu aku pergi meninggalkan rumah ibu tersebut. Aku kembali meneruskan perjalanan yang sempat terhenti. Aku mendatangi dusun sebelah untuk mencari tahu apa yang ada di sana. Jalanan yang kulewati semakin menanjak. Lama kelamaan akhirnya jalan aspal ini pun habis. Motorku masih melaju menerjang jalanan yang membentang di antara padang pasir. Pasir yang licin membuat motor ini kesulitan melaju. Aku mulai meninggalkan permukiman warga, menyusuri jalanan yang semakin suram.
Aku berhenti di depan rumah seorang warga untuk bertanya jalan. Tampak seorang ibu berjalan mendekat ke arahku. Ibu tersebut hanya menggunakan kain untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka sehingga terlihat buah dadanya. Anehnya ibu tersebut sama sekali tidak canggung atau malu ketika berjalan ke arahku. Ah entahlah, Indonesia memang kaya dengan budaya yang kadang terlihat aneh bagi beberapa.
Ibu tersebut tidak bisa berbahasa indonesia sehingga aku kesulitan berkomunikasi denganya. Beberapa warga di daerah terpencil ini memang agak kesulitan untuk berbicara menggunakan bahasa indonesia. Aku hanya bisa mengangguk untuk memberi isyarat pada ibu tersebut bahwa aku memahami apa yang dibicarakanya. Setelah itu aku kembali menuruni jalan ini karena aku tidak mengerti apa yang telah dikatakan oleh ibu tersebut. Aku kembali menuju jalanan aspal, kemudian mulai menuruni lereng gunung agung.
Kala itu aku sedang membuat peta Zona Nilai Tanah Pulau Bali. Aku tergabung dalam sebuah tim dari sebuah perusahaan yang memenangkan tender pembuatan peta Zona Nilai Tanah Propinsi Bali. Jejak kami harus terukir di seluruh penjuru pulau bali karena kami akan memetakan pulau ini. Sebuah kebanggan bisa menyusuri sudut demi sudut pulau ini.
Ternyata letusan gunung agung beberapa tahun silam tidak hanya meninggalkan duka dan nestapa. Letusan tersebut juga meninggalkan berkah bagi warga sekitar gunung agung. Kini lereng gunung agung menjadi penghasil pasir untuk bahan bangunan. Selain itu apa yang tersaji di sini sangatlah indah. Terkadang kita harus melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, maka kita akan menemukan sesuatu yang baru tanpa harus mencarinya.
Ternyata letusan gunung agung beberapa tahun silam tidak hanya meninggalkan duka dan nestapa. Letusan tersebut juga meninggalkan berkah bagi warga sekitar gunung agung. Kini lereng gunung agung menjadi penghasil pasir untuk bahan bangunan. Selain itu apa yang tersaji di sini sangatlah indah. Terkadang kita harus melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, maka kita akan menemukan sesuatu yang baru tanpa harus mencarinya.
Setelah hari mulai sore, mahasiswa semester 3 Teknik Geodesi UNDIP ini segera meninggalkan Desa Tulamben. Aku menyusuri jalanan aspal yang menuju ke arah Kab. Klungkung. Disanalah kami menyewa sebuah rumah yang kami tinggali selama berada di sisi timur pulau bali. Jalanan ini membentang di pinggir pantai. Angin sepoi sepi menemani perjalanan yang terasa sepi. Ratusan pohon kelapa berdiri tegak di tepian pantai. Di pinggir jalan kadang terdapat monyet yang sedang mesra bercengkrama.
Pantai Lepang |
Sesungguhnya banyak keindahan yang masih tersimpan di pulau ini. Sebuah keindahan yang masih menjadi misteri. Aku tidak ragu lagi untuk menyebut Bali adalah pulau terindah. Dari serpihan keindahan yang kudapatkan dari tiap sudut pulau ini aku mulai mengerti tentang keindahan sebenarnya dari pulau dewata.
Bali bukan hanya kuta, bali bukan hanya sanur, bali bukan hanya kintamani, bali bukan hanya tanah lot, bali bukan hanya danau batur. Bali adalah setiap jengkal tanah dewata
SALAM LESTARI
0 komentar:
Posting Komentar