"Karena yang terpenting bukan apa yang kita dapat dari dunia, tapi apa yang bisa kita beri pada dunia"

Pelajaran dari (bukan) Pendaki Gunung



2 Januari 2010
07.00 WIB
Puncak Gunung Lawu

Gunung lawu adalah gunung yang sangat keramat di pulau jawa. Sejarah tentang gunung ini menjadikanya begitu dikeramatkan oleh warga sekitar, terutama warga keraton solo. Petilasan Prabu Brawijaya V sebagai raja kerajaan majapahit yang terletak di kawasan Hargodalem gunung Lawu menjadikan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung gunung Lawu. Gunung ini tidak hanya ramai dikunjungi oleh para pendaki gunung tapi juga oleh para peziarah yang ingin berziarah ke petilasan prabu Brawijaya .

My Friend
Pagi itu puncak gunung Lawu sangat ramai oleh para peziarah. Di antara peziarah terdapat beberapa pendaki gunung yang sedang menikmati kebanggan di puncak. Hari ini adalah salah satu hari yang dikeramatkan oleh warga keraton solo. Di puncak terdapat beberapa sesaji yang dibawa oleh para peziarah. Mereka memanjatkan doa yang tak bisa kumengerti apa artinya.

Sekitar jam 08.00 WIB kami bertiga mulai turun gunung. Kami turun menggunakan jalur Cemara Kandang. Jalur ini lebih datar daripada jalur pendakian cemara sewu, hanya saja membutuhkan waktu tempuh lebih lama. Di tengah jalan kami bertemu dengan beberapa bapak bapak yang mendaki gunung dengan membawa kuda. Kami terkejut melihatnya. Baru pertama kali kami bertemu dengan kuda yang sedang mendaki gunung. Kami bertemu dengan kuda kuda tersebut di antara pos 2 dan pos 3 jalur pendakian cemara kandang. Pada saat itu terdapat sekitar 5 ekor kuda yang sedang berjalan mendaki gunung lawu.

Aku & Kuda
Dari penampilanya orang yang membawa kuda tersebut tidak tampak seperti pendaki gunung. Mereka bahkan tidak menunggangi kuda tersebut, mereka hanya membawanya untuk sampai ke puncak. Di punggung kuda tersebut terdapat karung yang entah apa isinya. Sepertinya kuda tersebut digunakan untuk membawa beban yang berat menuju ke puncak gunung lawu.

Kuda yang terletak di barisan terakhir tampak kesakitan. Kuda tersebut baru saja terpeleset dan mengalami gangguan pada kakinya. Jika kuda tersebut tidak bisa melanjutkan perjalanan mungkin dia akan ditinggal di tempat itu. Aku sangat kasihan pada kuda kuda tersebut, tapi aku tak mampu berbuat banyak untuk menolongnya.

Selang beberapa menit kami bertemu dengan rombongan yang berasal dari keraton solo. Rombongan tersebut terdiri sekitar 10 orang. Beberapa menit kemudian kami kembali bertemu dengan rombongan dari keraton solo. Kami melewatinya dengan senyum sapa khas pendaki gunung. Mereka pun membalasnya dengan ramah tamah.

Beberapa menit kemudian kami sampai di jalan yang cukup sempit. Di sisi kiri lintasan terdapat jurang yang dalam. Disana kami bertemu dengan rombongan dari keraton solo dengan jumlah yang besar. Rombongan tersebut diamankan oleh petugas khusus dari keraton. Petugas tersebut menyuruh kami untuk berhenti karena jalan yang kami lalui tidak muat untuk dilewati banyak orang. Kami berhenti sejenak di pinggir jalan sambil menanti rombongan tersebut lewat.

Kami duduk di pinggir jalan karena ternyata rombongan tersebut sangatlah panjang. Rombongan tersebut terdiri dari banyak karakter manusia, ada bapak bapak, ibu ibu, kakek kakek, nenek nenek, anak muda, anak kecil dst. Mereka sama sekali tidak tampak seperti seorang pendaki gunung. Jumlah orang dalam rombongan tersebut mungkin sekitar 100 orang. Kami menunggu cukup lama untuk membiarkanya lewat.

Mereka membawa barang barang aneh ke puncak gunung. Ada yang membawa 1 gepok pisang, ada yang membawa karung, ada yang membawa kayu bakar bahkan ada yang menggendong kambing. Meskipun begitu mereka semua selalu menyapa kami yang sedang duduk di pinggir jalan. Senyuman ramah mereka membuat kami selalu sabar untuk menunggu. "Mari mas", "Monggo mas", "Permisi mas" kalimat kalimat tersebut sering terucap dari beberapa orang yang lewat.

Mudah bagi mereka untuk mengucapkanya karena mereka hanya perlu mengucapkanya pada kami bertiga. Sedangkan kami bertiga harus membalas salam 100 orang. Meski kami sedikit jenuh, bosan dan lelah tapi kami selalu memberikan senyuman hangat kepada mereka. Senyum dan sapa mereka membuat kami tidak keberatan untuk menunggu lama. Keramahan ini menjadi pelajaran berharga untuk kami. 

Meskipun mereka bukan seorang pendaki gunung, tapi mereka selalu memberi salam ketika lewat. Hal itu menjadi kenangan yang mengiris hati saya beberapa bulan belakangan. Kini pendaki gunung sangatlah banyak. Puncak puncak gunung tak lagi sepi. Tapi keramahan tersebut seakan hilang. 

Keramahan pendaki telah menjadi tradisi yang harus kita jaga kelestarianya. Seorang yang bukan pendaki gunung pun memberikan salam dan senyum ramah ketika bertemu dengan rombongan lain di ketinggian. Sebagai seorang pendaki gunung kita harusnya malu jika tidak bisa menjaga keramahan tersebut.

Terimakasih pada robongan keraton solo,
Pertemuan singkat tersebut tidak membuat kami tahu apa yang membuatmu mendaki,
Tapi pertemuan tersebut membuat kami memahami tentang arti keramahan,

"Terkadang kita harus belajar mendaki dari seseorang yang bukan pendaki"

Baca juga :
Keramahan yang hilang

SALAM LESTARI


0 komentar:

Posting Komentar